Kamis, 14 Juli 2011

Kumbakarna Gugur Pesan keteladanan dari dalang idola

Penampilan fisik seseorang tak bisa untuk menilai sifat dan tabiatnya. Ada hal yang lebih penting sebagai cermin diri manusia, yakni hati.
Begitu pula dalam kisah pewayangan yang penuh dengan tuntunan dan petuah bijak warisan leluhur. Prabu Dasamuka, merupakan sosok jahat, yang digambarkan bertubuh besar dan berwajah sangar. Ia memiliki saudara, Kumbakarna yang memiliki postur tubuh tak kalah sangarnya dengan dirinya.

Fisik memang bisa saja sama, tapi hati seseorang siapa yang tahu. Lakon Kumbakarna Gugur, dimainkan apik oleh dalang cilik kebanggaan Solo, Adam Gifari, dalam Temu Dalang Cilik Nusantara IV 2011 di Taman Budaya Surakarta (TBS), Sabtu (9/7), dini hari.

Sebagai senopati dalam pertempuran, Kumbakarna memang maju berperang melawan Ramawijaya. Namun, niatnya berperang bukanlah untuk membela saudaranya yang jahat, Dasamuka. Ia hanya ingin membela tanah kelahirannya, Astina, agar tak dikuasai pihak lain dan tidak terjadi pertumpahan darah yang lebih parah.

Membawakan lakon yang baru kali pertama dimainkannya, peraih Juara I Pemilihan Anak Berbakat Seni se-Indonesia 2011 itu berhasil menampilkan lakon dengan penuh dramatik.

Meski salah satu telapak tangannya sakit dan dijahit, bocah kelahiran Solo, 13 September 1999, itu masih bisa memamerkan kekuatan sabetan-sabetan-nya. Sesekali melempar, memutar dan menangkap kembali wayangnya, tampak sangat ahli.

Sulukan-nya pun telah mampu menguasai suara tinggi dan lebih terbentuk, sehingga tak begitu terdengar warna suara kanak-kanaknya.

Mumpuni


Tak heran di pergelaran temu dalang cilik kali ini, ia kembali mendapat gelar Dalang Dadi, dalang yang bisa menguasai semua teknik.

Meski kemampuannya yang telah mumpuni, sebagai dalang cilik Adam memberikan contoh adegan-adegan yang penuh etika. Hal itu terlihat saat detik-detik tewasnya Kumbakarna. Dia membuat Kumbakarna meninggal dengan cara wajar.

“Biasanya saat akan tewas digambarkan satu per satu organ tubuh Kumbakarna dipotong dan terlempar ke mana-mana. Dari segi agama dan kesusilaan itu kan dilihat kurang baik. Tapi Adam menampilkan kematian yang normal,” ungkap ketua pelaksana acara, Mudjiono, saat ditemui Espos, di tempat sama.

Tak hanya itu, dalang yang pernah puluhan kali pentas itu kian menunjukkan kebolehannya berkreasi dengan menghadirkan dialog spontanitasnya nan dramatik. “Aku maju neng Palagan ora bebela kakangku, nanging aku ora trima yen utah getihku dijajah,” teriaknya dengan suara bergetar, untuk menunjukkan sifat ksatria Kumbakarna.

“Itulah Adam, ia memang selalu memiliki ide spontanitas di tiap pertunjukan. Kekuatannya dalam mengeluarkan unsur dramatik begitu lihai,” imbuh Mudjiono.

Meski tampil di bagian akhir dini hari itu, Adam tetap menjadi magnet tersendiri bagi para penonton. Terbukti, saat dalang cilik yang pernah berkolaborasi dengan Ki Enthus Susmono beberapa waktu lalu itu mulai memainkan wayangnya, puluhan penonton yang sudah terlihat mengantuk meringsek mendekati panggung. 


Sumber: Syahaamah Fikria, Harian Umum Solopos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar